Taper Tantrum: Pengertian dan Dampaknya bagi Perekonomian
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia memiliki dampak pada segala aspek, salah satunya aspek ekonomi. Hal ini membuat kondisi keuangan banyak negara cukup mengkhawatirkan. Berbagai upaya terus dilakukan agar suatu negara dapat bertahan dari kondisi ekonomi yang tidak menentu ini. Salah satu ancaman dalam segi perekonomian yang timbul dari adanya Pandemi Covid-19 yang terjadi selama dua tahun belakangan ini adalah taper tantrum.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, mengingatkan salah satu dampak yang terjadi dari taper tantrum yang dapat dialami Indonesia yaitu keluarnya dana asing ke negara asal atau sering disebut sebagai capital outflow. Sebenarnya, apa itu taper tantrum dan mengapa bisa terjadi taper tantrum? Lalu, apa saja dampak yang terjadi dari adanya taper tantrum? Artikel ini akan membahas pengertian dan dampak taper tantrum bagi perekonomian. Yuk, simak!
Pengertian Taper Tantrum
Taper tantrum adalah penggabungan dari dua kata yakni “taper” dan “tantrum”. Taper diambil dari kata tapering atau pengurangan. Jika dikaitkan dengan perekonomian, tapering off merupakan pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas.
Hal ini dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat, yaitu Federal Reserve atau The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif atau Quantitative Easing. Quantitative Easing itu sendiri merupakan kebijakan yang bertujuan untuk menstabilkan kondisi keuangan dan memulihkan kondisi ekonomi dunia dengan mendorong pinjaman dan memungkinkan konsumen berbelanja serta bisnis untuk berinvestasi. Sedangkan kata tantrum mungkin sudah tidak begitu asing didengar. Mendengar kata tantrum biasanya kita terbayang oleh anak-anak atau orang tertentu yang sedang emosi, biasanya menangis histeris, menjerit atau marah untuk meluapkan emosinya tersebut.
Jadi dalam dunia keuangan, taper tantrum adalah gejolak ekonomi yang muncul akibat kebijakan tapering off yang dilakukan oleh Federal Reserve yang biasanya membuat investor asing panik dan mencabut investasinya dari pasar keuangan negara emerging market seperti Indonesia dan memilih untuk mengalokasikan dananya kembali ke negara asal.
Mengapa Bisa Terjadi Taper Tantrum?
Kebijakan tapering off sebelumnya pernah diterapkan pada tahun 2013 di Amerika Serikat sebagai reaksi dari krisis keuangan tahun 2008. Pada saat itu, bank sentral Amerika Serikat melakukan quantitative easing (QE) atau pelonggaran kuantitatif untuk membeli treasuries bond milik pemerintah AS secara besar-besaran, yang nantinya uang hasil penjualan aset-aset digunakan untuk membantu warga membiayai kebutuhan sehari-hari, menyantuni para pengangguran, dan mendorong bisnis-bisnis agar bisa beroperasi dan berekspansi. Alhasil, pasar meresponnya dengan memborong treasury AS hingga Amerika Serikat banjir likuiditas dan mengalami imbal hasil atau yield obligation yang melonjak.
Ketika ekonomi bangkit di tahun 2013, bank sentral Amerika Serikat mengumumkan akan membuat keputusan tapering off atau pengurangan stimulus dari US$ 85 M per bulan menjadi US $ 75 M per bulan dan berlaku pada Januari 2014 untuk mengurangi bahkan menghentikan pembelian aset finansial pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan tapering off ini perlu dilakukan untuk menghindari hiperinflasi. Ketika ada banyak uang yang beredar di masyarakat, maka harga-harga akan naik tak terkendali.
Keputusan tersebut membuat pasar panik karena tapering yang dilakukan oleh bank sentral Amerika, dan membuat investor asing panik sehingga mencabut investasinya dari pasar keuangan negara emerging market seperti Indonesia dan memilih untuk mengalokasikan dananya kembali ke negara asal. Pasalnya, bank sentral Amerika telah menjadi salah satu pembeli obligasi terbesar dunia dan menjadi penopang ekonomi.
Perekonomian yang terkena dampak selama masa pandemi juga membuat bank sentral Amerika melakukan hal yang sama. Bank sentral Amerika melancarkan pelonggaran kuantitatif (QE) untuk membangkitkan kembali perekonomian. Pemerintah Amerika juga menurunkan suku bunga untuk mendorong masyarakat mengajukan pinjaman dengan bunga yang rendah. Harapannya, ketika masyarakat diberi modal untuk berbelanja dan berbisnis, maka ekonomi akan tumbuh dan pulih. Ketika perekonomian sudah mulai pulih dan bangkit, maka bank sentral Amerika akan melakukan tapering.
Dampak Taper Tantrum
Beberapa dampak dari taper tantrum terutama bagi Indonesia yang dikhawatirkan terjadi adalah aliran dana keluar atau capital outflow dari pasar negara berkembang dan melemahnya nilai tukar rupiah. Kurs rupiah dapat melemah ketika para investor asing beramai-ramai menarik investasinya dari Indonesia berpindah ke Amerika Serikat atau ke sektor usaha dan instrumen investasi yang lebih aman. Hal ini pun akan mendorong permintaan dolar semakin meningkat. Melemahnya nilai rupiah akan diikuti dengan naiknya harga emas, harga barang impor, dan lain-lain. Selain itu, kenaikan suku bunga bank juga ikut menjadi dampak terjadinya taper tantrum. Tentunya, hal ini ditakuti oleh para debitur. Pasalnya, banyak orang yang terbiasa dimanjakan dengan suku bunga yang rendah dan biaya cicilan yang menjadi lebih murah.
Namun jangan khawatir, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia telah berupaya menyusun berbagai kebijakan lain untuk mengantisipasi efek dari tapering off bank sentral Amerika Serikat. Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), dampak tapering off ke Indonesia tidak besar karena fundamental ekonomi tanah air yang cukup baik. Hal ini terlihat dari angka inflasi yang masih terjaga di level 2% hingga 3%, berbeda dengan di tahun 2013 lalu yang menanjak di kisaran 8%.
Demikianlah informasi mengenai taper tantrum, penyebab terjadinya taper tantrum dan penjelasan singkat terjadinya taper tantrum di tahun 2013, serta bagaimana dampaknya bagi perekonomian di Indonesia.