Memahami skor kredit: ulasan lengkap sistem data kredit di Indonesia

Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan India, kesadaran akan pentingnya skor kredit bukanlah hal yang ‘asing’ layaknya di Indonesia.

Contohnya di AS, platform penilaian kredit Credit Karma memiliki lebih dari 120 juta pengguna dan telah berhasil meningkatkan kesadaran konsumen tentang skor kredit.

Di luar sana, biro kredit telah ada cukup lama. Di India misalnya, meski hanya sekitar 400 juta dari total penduduk 1,5 miliar yang memiliki laporan kredit, lembaga kredit pertama di sana (CIBIL) telah beroperasi sejak tahun 2000. Bandingkan dengan biro kredit pertama di Indonesia yang baru mendapat lisensi pertamanya di 2015.

Sebuah studi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara seringnya orang memeriksa laporan kredit mereka, dengan kemampuan mereka untuk membayar utang.

Namun di Indonesia, kalau kamu bertanya apakah orang tahu status kredit mereka, pasti hanya sedikit yang tahu. Kalau tahu pun seringkali alasanya karena kebetulan atau sedang ada situasi tertentu.

Misalnya, ada orang yang mengetahui status kreditnya karena diberitahu temannya yang bekerja di bank. Ada juga yang kerja di bank sehingga bisa langsung mengakses data mereka. Skenario lainnya adalah seseorang ditolak pengajuan pinjaman, dan baru setelah itu mereka diberitahu bahwa skor kreditnya jelek.

Kalau literasi keuangan saja rendah, maka literasi tentang kredit seharusnya jauh lebih rendah lagi, terutama di negara di mana akses kredit resmi juga sangat terbatas.

Menurut Laporan E-Commerce JP Morgan tahun 2020, penetrasi kartu kredit hanya sekitar 0,06 kartu per kapita (dan jumlah total kartu kredit di negara ini stagnan sekitar 16-17 juta selama 5 tahun terakhir).

Memang masuk akal, jika dibandingkan dengan AS, UK, dan India yang 99%, 97%, dan 80% penduduknya memiliki rekening bank, di Indonesia hanya 50% penduduk yang memiliki rekening bank.


Sistem pelaporan kredit resmi di Indonesia

Selain akses kredit resmi yang terbatas yang mempengaruhi literasi kredit, kemampuan untuk mengakses “data kredit konsumen” baru ada dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.

Biro kredit pertama di Indonesia, PEFINDO, baru mendapat lisensi operasional pertamanya pada 2015. Namun, sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk memahami bagaimana data kredit ‘disediakan’ di Indonesia.

Diagram di atas merangkum alur kerja ekosistem penilaian kredit di Indonesia. Berbeda dengan negara lain, penilaian kredit di Indonesia terpusat di tingkat nasional di bawah pengawasan regulator keuangan OJK, yang memiliki basis data peminjam yang disebut SLIK (dibangun 2006).

Pemberi data (biasanya pemberi pinjaman) “menyediakan” data ke biro kredit. Pemberi data yang wajib menyediakan data ke SLIK termasuk bank-bank (konvensional dan syariah) serta lembaga multi-finance.

Sementara itu, P2P (peer-to-peer), koperasi, dan lembaga keuangan mikro tidak wajib menyediakan data ke SLIK. Ada lebih dari 2.000 pemberi data sejenis yang tercatat dalam database, dan sekitar 70 juta orang memiliki laporan kredit dalam sistem tersebut.

Data yang disediakan adalah daftar semua akun pinjaman/kredit, informasi tentang peminjam, saldo yang belum lunas, pembayaran terlambat, skor kolektibilitas (sebelumnya dikenal sebagai BI Checking), dan detail lainnya untuk setiap akun. Data-data ini biasanya disediakan ke SLIK setiap bulan.

Database SLIK ini kemudian diakses oleh pemberi pinjaman maupun biro kredit. Pemberi pinjaman dapat langsung meminta data peminjam dari SLIK untuk menilai kelayakan kredit pelanggan mereka.

Biro kredit (disebut LPIP di Indonesia) dapat mengambil data peminjam bersama dengan data lain yang mereka peroleh secara independen (misalnya lewat pemberi data yang tidak diwajibkan oleh OJK untuk melapor ke SLIK) untuk memberikan layanan data yang lebih lengkap dan komprehensif, termasuk penilaian kredit yang tidak disediakan oleh SLIK.

SLIK menyimpan sebagian besar data kredit resmi. Biro kredit kemudian mengakses SLIK dan menggunakan keahlian analisis mereka untuk memberikan pandangan kelayakan kredit pada pemberi pinjaman.

Berbeda dengan AS, di Indonesia tidak ada metodologi penilaian standar. Setiap biro memiliki cara sendiri dalam menghitung skor kredit konsumen, dan penilaian ini bisa sangat bervariasi. Di CBI, kamu bisa jadi diberi label “bagus” sementara di CLIK, saya mungkin diberi label “sedang”.

Bagi pemberi pinjaman, hal ini bisa membingungkan. Itulah kenapa pada umumnya peran skor kredit di Indonesia masih belum begitu kuat, bahkan bagi pemberi pinjaman.

Selain itu, sebagian besar data biro saat ini berasal dari SLIK, yang berarti biro kredit masih punya tugas besar untuk menghasilkan analisis yang lebih komprehensif.

Saat ini ada tiga biro kredit di Indonesia (PEFINDO, CLIK, dan CBI) — dengan sejarahnya lebih fokus pada bisnis B2B mereka.

Salah satu solusi konsumen yang disediakan oleh biro saat ini adalah IdScore dari PEFINDO, sebuah solusi berbasis web yang memungkinkan konsumen untuk memeriksa laporan kredit mereka secara langsung.

Namun, kamu harus membayar sekitar 75ribu untuk mendapatkan laporan ini, dan untuk bisa cek skor kredit gratis (sekali setahun) kamu harus pergi langsung ke kantor biro kredit di Jakarta (kota dengan hanya 10 juta penduduk dari total 273 juta penduduk Indonesia).

Solusi alternatifnya adalah langsung ambil laporan kredit dari sistem SLIK (disediakan oleh OJK). Kamu bisa datang secara langsung ke cabang terdekat, atau masuk ke portal berbasis web (idebku) untuk mendapat laporan kredit gratis.

Namun, akses ke portal ini dibatasi oleh kuota harian yang sangat terbatas, sehingga kamu harus bersaing dengan semua orang lainnya yang juga mencoba masuk ke portal idebku.

Kalau kamu berhasil masuk, laporan kredit akan ditampilkan dalam format sebagai berikut:

Ada beberapa pemain fintech yang mencoba membuat skor kredit mereka sendiri berdasarkan data-data yang bisa mereka dapatkan. Para pemain ini misalnya cekaja, finantier, dan koinworks.

Meski begitu, mereka adalah agregator data tidak resmi, sehingga skor kredit yang disajikan tidak merepresentasikan skor kredit ‘resmi’ yang dipakai oleh pemberi pinjaman untuk menentukan kelayakan.


Mekanisme penyediaan data

Aturan-aturan tentang pengisian data mengatur semua tentang data yang akan masuk ke sistem laporan kredit. Biasanya, data dilaporkan setiap bulan dan mencakup banyak informasi (nama pelanggan, alamat pelanggan, batas kredit, saldo terkini, status akun, dll).

Proses pengisian datanya kompleks, jadi terdakang pihak yang memberikan data harus membuat keputusan-keputusan sendiri, dan kesalahan bisa terjadi. Beberapa masalah potensial yang mungkin terjadi adalah:

1. Data yang salah

Data bisa salah kalau misal ada pinjaman mobil yang malah masuk sebagai pinjaman pribadi, atau pembayaran bulanan yang lunas tapi tercatat sebagai terlambat.

Kesalahan-kesalahan seperti ini akan membuat informasi kredit jadi salah, yang artinya reputasi kredit pelanggan juga salah, dan akhirnya pemberi pinjaman akan membuat keputusan kelayakan pinjaman berdasarkan data yang salah.

2. Kesalahan identifikasi atau pencocokan data konsumen

SLIK harus mencocokkan puluhan juta data kredit yang mereka terima setiap bulan dengan data konsumen. Jika dua data kredit yang dimiliki oleh kamu tidak cocok dengan konsumen tersebut, maka laporan kredit konsumen menjadi tidak lengkap.

3. Kecurangan identitas

Bukan rahasia lagi kalai banyak orang mengajukan kredit dengan data oranglain. Banyak pengguna Skorlife menemukan data pinjaman yang sebenarnya bukan milik mereka.

Karena ada kemungkinan data salah, perlu adanya sistem yang memungkinkan masyarakat “mengendalikan” data mereka dan mengajukan komplain jika diperlukan. Namun, kurangnya pemahaman tentang kredit dan sulitnya akses ke laporan kredit pribadi tentu jadi penghambat yang besar.

Salah satu biro kredit menyebutkan bahwa hampir tidak ada konsumen yang langsung mengajukan komplain mengenai informasi kredit mereka ke biro itu sendiri.

Namun, sebenarnya proses mengajukan komplain cukup sederhana, dan ada sebuah ketentuan regulasi (SEOJK 2014/7) yang menuntut lembaga-lembaga keuangan untuk menanggapi keluhan pelanggan yang berpotensi menyebabkan kerugian keuangan dalam waktu kurang dari 20 hari, dengan tambahan waktu 20 hari lagi untuk penyelesaian masalah.

OJK sendiri menyediakan sistem untuk lembaga-lembaga keuangan untuk melaporkan informasi yang salah (termasuk sengketa kredit) melalui sebuah portal yang disebut APPK (atau Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen).

Intinya, infrastruktur dan peraturan yang diperlukan sebenarnya sudah ada, tapi sebagian besar orang bahkan tidak menyadari tentang data kredit mereka.


Dampak Rendahnya Pemahaman Kredit di Indonesia saat ini

Dengan tingkat literasi keuangan yang rendah, akses yang sulit untuk data reputasi kredit, ditambah dengan penetrasi kredit formal yang rendah di Indonesia, sangat wajar rasanya kalau literasi kredit sangat rendah di Indonesia.

Namun, rendahnya literasi kredit dan rendahnya penetrasi kredit formal tidak berarti rendahnya permintaan kredit. Menurut biro kredit Indonesia, ada sekitar 70 juta orang di Indonesia yang memiliki catatan kredit.

Dari jumlah tersebut, diperkirakan lebih dari 20 juta orang telah mengambil pinjaman paylater yang tercatat dalam biro kredit.

Dari analisis singkat, pengguna paylater di Indonesia pada umumnya “unik”, karena cenderung hanya menggunakan paylater sebagai satu-satunya bentuk kredit mereka. Hal ini karena pinjaman paylater cenderung didistribusikan dengan “volume” yang besar serta proses persetujuan yang lebih mudah daripada meminjam di bank. Hal ini menyiratkan beberapa hal:

Rendahnya penetrasi kredit formal (selain kartu kredit): mungkin di bawah 50 juta orang di Indonesia, yang berarti tingkat penetrasi sekitar 20-25%;

Tingginya permintaan kredit: BNPL baru ada sejak sekitar 2016 di Indonesia dengan pertumbuhan yang pesat selama periode pandemi COVID-19. Dalam waktu 5-7 tahun, dengan asumsi pengguna paylater sebagian besar hanya menggunakan paylater, jumlah pengguna ini telah mencapai 25-30% dari populasi di biro kredit.

Kombinasi literasi kredit rendah, penetrasi kredit formal rendah karena rendahnya toleransi risiko bank, dan tingginya permintaan kredit bisa berbahaya, terutama di negara di mana akses kredit semakin mudah didapatkan melalui saluran digital yang berkembang pesat.

Beberapa kekhawatiran yang juga terlihat dari dari cerita-cerita para pengguna Skorlife:

Pertama, Paylater menawarkan kemudahan meminjam tanpa jaminan, hal inilah yang mereka ‘jual’ ke calon pelanggan baru seperti mahasiswa atau profesional muda. Channel semacam ini menawarkan akses mudah ke kredit, tetapi dengan jangka waktu yang singkat dan suku bunga tinggi.

Sebagai contoh, ada satu pengguna Skorlife ada yang meminjam di lebih dari 5 aplikasi pinjol, awalnya untuk keperluan usaha, tetapi semakin lama semakin bergeser ke urusan konsumtif karena banyaknya promo yang ditawarkan pihak pinjol.

Kedua, ketergantungan yang semakin meningkat pada pinjol sebagai ‘penyelamat’. Kalau sebelumnya seseorang tidak mengelola pinjaman dengan baik, kemungkinan besar bank tidak akan memberi pinjaman kepadanya.

Satu pengguna Skorlife menyebutkan bahwa ia kehilangan pekerjaan ketika masih ada dua hutang yang belum lunas, termasuk KPR.

Kehilangan pekerjaan ini berarti dia harus menunggak bayar cicilan selama beberapa waktu, penunggakan ini membuatnya sulit mendapat pinjaman dari bank untuk membuka usaha. Akhirnya? Seperti dugaan, pinjol jadi pilihan terakhir.

Ketiga, mengabaikan pentingnya skor kredit. Tidak jarang data palsu masuk ke laporan kredit seseorang, yang seringkali baru ketahuan ketika ada pinjaman ditolak karena skor kredit yang buruk.

Satu pengguna Skorlife menemukan pinjaman yang gagal bayar di laporan kredit mereka, padahal itu bukan miliknya. Alhasil ia ditolak ketika mengajukan pinjaman untuk beli mobil.

Fintech yang marak di Indonesia memang menyelesaikan masalah akses kredit, namun perlu diingat bahwa pinjaman adalah “sarana peluang ketika digunakan dengan benar”, dan sayangnya banyak pinjaman yang digunakan dengan tidak benar, sehingga bukannya menjadi peluang malah jadi beban.

Kenapa tidak digunakan dengan benar? Satu alasan utamanya adalah rendahnya literasi keuangan, tetapi alasan lainnya yang tidak kalah penting adalah sulitnya mendapatkan akses data kredit diri sendiri.


Membangun Akses Konsumen ke Data Skor Kredit untuk Meningkatkan Pemahaman

Coba kita lihat lagi mind-map tentang data skor kredit di Indonesia:

Skorlife memanfaatkan infrastruktur data kredit yang sudah ada, dan bekerjasama dengan biro kredit sebagai channel akuisisi pengguna. Ada dua hambatan terbesar di sektor ini: kemudahan mengakses data kredit dan cara memahami data kredit tersebut.

Penting untuk diingat bahwa Skorlife bukanlah biro kredit, dan terdaftar di OJK sebagai financial planner. Proses KYC diterapkan melalui provider sertifikasi elektronik VIDA, dan telah mendapat sertifikasi ISO-27001 serta 27701.

Lalu muncul pertanyaan, kenapa biro kredit tidak fokus langsung ke konsumer kalau mereka punya semua datanya? Jawaban singkatnya adalah, ya bisa saja, tapi membangun infrastruktur untuk bisnis B2C bukanlah hal mudah, dan sangat berbeda dari sisi B2B mereka.


Penutup

Seperti kita bahas di awal, Credit Karma punya 120 juta pengguna di AS dan sangat berdampak positif terhadap kesejahteran ekonomi penggunanya.

Di Indonesia, infrastruktur data kredit memang masih baru tapi sudah cukup kokoh. Dan tidak seperti negara lain, database kredit kita terpusat dan dikelola oleh OJK. Masalah utamanya adalah urusan akses data dan pemahaman data tersebut.

Apa mayoritas orang tahu bahwa telat bayar pinjol beberapa hari berpotensi merusak rencana besar di masa depan? Pastinya tidak, dan berhubung kamu sudah baca sampai akhir, saran kami segera pahami skor kredit kamu dan ambil kendali atas reputasi finansialmu sebelum terlambat.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments